Kisah Dahsyatnya Rupiah dan Polosnya Penjual Bakpau

Sepertinya, aku tak akan bisa menepati janji untuk menemui Cece dan Chaula malam ini. Smartphoneku telah merengek minta di charge sedari tadi, dan sekarang sudah mati, tak mampu dinyalakan kembali. Powerbank juga sudah tak berkedip lagi. Aku sudah berusaha meminjam Powerbank kepada orang-orang disekitarku, tetapi nihil. Entah mengapa, pandangan mereka terlihat sedikit sinis saat melihatku. Mungkin, salahku juga mengganggu orang pacaran di malam Minggu.

Kendati sudah masuk ke awal musim semi di kota Xi’an, udara dingin tetap menusuk tulang. Delapan derajat, suhu terakhir yang kuingat sebelum smartphoneku mati. Aku mengencangkan resleting jaket sambil berjalan mencari steker listrik yang mungkin saja ada di sekitar Giant Wild Goose Pagoda. Tetapi usahaku kandas, tak ada satupun steker yang kutemukan.

Pandanganku teralihkan kepada seorang penjual bakpau yang sedang menjajakan bakpaunya. Pria muda seumuranku itu tampak sibuk melayani para pelanggannya. Tangannya cekatan, dengan cepat mengambil bakpau, lalu memasukkannya dalam sebuah kantong. Tetapi perhatianku bukan karena bakpaunya, tetapi karena sesuatu hal yang lain. Lampu terang menerangi bakpau yang terlihat nikmat dari jauh. Bagaimana ia bisa menyalakan lampu padahal tak ada steker, pikirku.

Aku berjalan pelan menghampiri penjual bakpau itu, berusaha menghiraukan dingin yang semakin menusuk kulit. Ia sadar dengan kehadiranku, lalu tersenyum dan bertanya kepadaku dalam bahasa China. Satu yang kutangkap adalah –ia pasti menawariku untuk membeli bakpaunya. Aku lalu memberi gesture bahwa aku tak ingin membeli bakpaunya Pria itu terlihat sedikit kecewa, lalu ia menanyakan apa yang kumau. Aku menunjuk lampu terang itu, dan ia memahami maksudku. Dia menggunakan sebuah aki kecil sebagai sumber energi. Dibalik aki itu, terdapat sebuah kabel micro USB yang menjuntai bebas. Ah, aku bisa menumpang charge!

Beruntung, aku menggunakan Android yang sangat fleksibel dan bisa menggunakan kabel apapun, dibandingkan tetangganya yang pilih-pilih kabel. Kalau kata orang, Android bisa Salome, Satu Lobang Rame-Rame.

“Hi, sorry. May I borrow your cable for a while? I need to contact my friend in here” tanyaku kepada pria itu.

“Cable not good, you try” jawab pria muda itu dengan Bahasa Inggris seadanya. Benar saja, kabel USB yang kupegang sudah tampak sangat rapuh. Warnanya pudar, dari yang aslinya putih sekarang menjadi kekuningan. Beberapa bagian sudah terlihat tembaga yang mencuat keluar. Apa nggak ngeri nyetrum ya seperti ini, pikirku dalam hati. Tapi tenaga aki sekecil ini memang tak akan bisa membunuh sih, palingan hanya terkejut saja.

Gotcha! Connected! Kabel yang super jelek ini bisa mengalirkan arus ke HPku, meskipun aku yakin ini akan membutuhkan waktu yang lama. Daripada menunggu, aku berinisiatif mengajak ngobrol pria penjual bakpau itu.

Kami mengobrol sedikit tentang alun-alun Big Goose Pagoda dan bagaimana ia berjualan. Setiap malam, ia datang berjualan bakpau buatan adiknya. Di siang hari, ia menjadi buruh disebuah pabrik. Meskipun dengan Bahasa Inggris seadanya, aku mengerti apa yang ia ucapkan. Salut, siang malam bekerja untuk memenuhi kebetuhan keluarganya.

Lalu aku teringat akan lembaran uang rupiah yang masih tersimpan di dompet. Sepertinya ia akan senang jika kuberi rupiah untuk sekedar kenangan. Kubuka dompet dan dengan cepat kuberikan uang sebesar 20.000 rupiah ke tangannya.

“Sorry, for what?” You not buy my food”.

“A present for you, for helping me.”

“20.000? It is so much. You can eat all my food!”

“No, i cant eat pork. Just keep this money. For you.”

Lalu tiba-tiba ia meraih dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang. Tiga Ratus Yuan, yang setara dengan 600 Ribu Rupiah.

“No! This Yuan for you, sorry only have this. You not buy my food, you change money with me.” jawabnya polos.

Dalam hati, aku merasa terharu. Ia tak mau begitu saja diberi, karena ia memang ikhlas membantu. Tetapi dilain sisi, aku ingin tertawa, karena 20 rb rupiah yang dia anggap hampir setara dengan 20 rb yuan, sebenarnya hanyalah senilai 10 Yuan. Bahkan, ia ingin menukar 20 ribu itu dengan 300 Yuan.

Aku tersenyum dan menolak uang tersebut. Semoga sukses, penjual bakpau yang baik! Source : catatanbackpacker